end of beginning

SANDA:
4 min readApr 16, 2024

--

Pinterest

Hening membalut suasana di dalam perpustakaan, memang seharusnya seperti itu. Hanya ada segelintir orang disana. Terdengar langkah kaki yang pelan menyentuh lantai, suara halaman buku yang di balik dengan hati-hati, suara pensil yang tergores diatas kertas, dan bisikan-bisikan kecil antar pembaca yang sedang berdiskusi.

“Memang apa gunanya bergumam di balik malam, lalu menangis di bawah bantal, Bi?” Jere menutup buku yang ia baca, sepersekian detik pasca melontarkan tanya-nya pada Abigail. Tentunya dengan nada yang pelan agar kebisingan tidak hadir di ruangan yang seharusnya hening itu.

Abigail melempar pandangan pada Jere yang duduk di sampingnya. Sayup-sayup kedua netranya menatap sang lawan bicara, dengan helaan nafas panjang ia menjawab.
“Aku juga masih mempertanyakan hal itu. Aku tahu menangis tidak akan memberikan solusi. Tapi kadang-kadang, aku merasa kalau semuanya begitu berat. Sulit untuk melepaskan semua perasaan ini. Bye the way tahu darimana kalau aku habis nangis?”

“Dari Adekku, dia suka nonton film. Kalau ceritanya sedih dia bakal nangis. Waktu bangun tidur matanya bakal bengkak, persis kayak mata kamu gini. Dia sering kayak gitu, jadi aku hafal bentuk mata habis nangis gimana.”

“Then, why you know kalau aku ngomel-ngomel sambil nangis?”

“Adekku kalau nonton film sedih juga gitu, dia bakal ngomel sambil nangis. Semua di komentarin kata dia, harusnya gini harusnya gitu. Berasa dia sutradaranya. Aku kira kamu menangis karena habis nonton film atau drama sedih.”

“Hidup aku aja udah banyak drama-nya, Je. Oh ya adek kamu lucu ya. Besok kalau ada waktu luang boleh di kenalin nggak?”

“Boleh.”

Abigail kembali melempar pandangan ke buku biru yang bertuliskan ‘Jakarta Sebelum Pagi’. Abigail tidak membaca dengan betul buku ditangannya. Hanya membaca rangkaian kata saja, tanpa memahami alur ceritanya. Sebab pikiran merambat kemana-mana

Kembali hening sejenak. Seperti tinggal mereka berdua di dalam perpustakaan itu.

Dengan gerakan hampir tak bersuara. Jeremia menggeser kursinya mendekat kearah Abigail. Setelah merasa cukup dekat Jeremia berdehem pelan untuk menyadarkan Abigail, kemudian menepuk pundak kanannya. Mengisyaratkan agar Abigail bersandar di pundaknya. Sayangnya Abigail tidak begitu paham dengan isyarat Jeremia. Dengan menjinjing senyum di bibirnya. Jeremia menyentuh kepala Abigail, mengarahkan agar bersandar di pundaknya. Tidak ada penolakan maupun pemberontakan.

Abigail awalnya terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu. Perlahan-lahan Jeremia mulai menyesuaikan posisinya agar Abigail dapat bersandar dengan nyaman.

“Bi, kita semua pasti memiliki hari-hari yang sulit. Tapi kamu harus tahu, ada aku disini. Kamu bisa berbicara denganku kapan saja.”

Jeremia dapat merasakan kepenatan dimata Abigail dan kesedihan tertinggal di wajahnya.

“Kalau kamu sedih jangan menangis di balik bantal. It’s feels like nothing karena nggak ada yang tanggap-in. Better nangis di pundakku aja. Kamu boleh nangis sepuas kamu sampai bajuku basah juga nggak apa-apa. Aku siap mendengarkan keluh kesah kamu.”

“Aku nggak bisa melakukan hal seperti itu. Aku selalu merasa bersalah kalau menceritakan masalah aku yang mungkin terlihat sepele di mata orang lain. Aku takut terlihat lemah dengan masalah yang nggak sebanding dengan derita orang lain.”

“No, semua orang punya jalan hidup masing-masing. Semua orang punya titik kelemahannya masing-masing. Nggak bisa dibandingin satu dengan yang lain. Jangan takut untuk terlihat lemah. Lemah itu sifat manusia. Terkadang kita harus terlihat untuk mengingat bahwa kita hanyalah manusia biasa. Terlihat lemah itu bukan kesalahan, Bi.”

Aku selalu mencoba untuk cerita sama kamu. Tapi nggak tahu mulainya dari mana.”

“Senyamannya kamu. Mau cerita dari manapun alurnya tidak beraturan juga nggak masalah. Aku akan berusaha keras menanggapinya Masa aku harus iri sama bantal yang dengar curhatan kamu dengan bebas. Aku juga mau, aku mau berbagi apapun sama kamu. Bahagia, susah, sedih, senang semuanya. Aku malah lega. Kalau kamu jadi diri sendiri. Tanpa nutupin hal-hal yang buat kamu terluka.”

“Je… it’s not simple. Aku butuh waktu untuk mulai.”

“Yeah, I understand, Bi. Aku akan selalu nunggu kamu untuk siap cerita-in semuanya. Aku selalu siap kapanpun. You can text me, you can call me anything that you want, you can send me email about what are you feelings. And anything, underline, a n y t h i n g.”

Abigail terkekeh pelan dalam sandaran Jeremia. Kemudian ia menatap netra Jeremia dengan secercah harapan.

“Can I hug you, Je?”

Tentu saja Jeremia gelagapan dengan ungkapan tiba-tiba Abigail.

“But we’re in the campus library.”

“Nggak ada orang kok. Just give me 10 seconds.”

“Okay…”

Tanpa berkata-kata lagi, mereka saling mendekat dan memeluk satu sama lain.

“Thank you for anything, Je. Thank you for coming in my life. You’re my best part. Once again thank you so much.”

“You’re welcome, Bigel.”

Pelukan itu memberikan rasa nyaman dan dukungan yang sangat dibutuhkan. Di dalam pelukan itu, mereka merasakan kelembutan dan kehangatan yang membuat beban sedih sedikit berkurang.

“I will move to Toronto next month, Je.”

“What?”

--

--

SANDA:
SANDA:

Written by SANDA:

Hanya untuk bersenang-senang.

No responses yet